Baru Baru Ini, hukuman mati menjadi pembicaraan di banyak kalangan, dikarenakan putusan hukuman mati diterapkan kembali di Indonesia pada Kasus Perkara Ferdy Sambo yang diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta selatan, Senin (13/2/2023).

Terjadi Pro dan Kontra mengenai pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, selain menyangkut hak hidup seseorang apakah Indonesia sudah tepat melaksanakan hukuman mati, terlebih lagi tidak ada ruang koreksi dalam hukuman mati.

Hukuman Mati atau Pidana Mati menurut Rancangan KUHP adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Namun apakah hukuman mati yang diterapkan mengacu pada ketentuan KUHP? Sebelum lebih jauh mari kita telaah pidana mati menurut KUHP, yang menerangkan bahwa Vonis hukuman mati di Indonesia tertuang dalam Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri."

Proses Hukuman mati di Indonesia disempurnakan dalam Undang-Undang No. 02/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Berdasarkan Pasal 1 bahwa hukuman mati yag diterapkan di Indonesia dilakukan dengan cara ditembak sampai mati

"Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang perjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut."

Selanjutnya, ketentuan UU Nomor 02/PNPS/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Menimbulkan pro dan kontra, hukuman mati di Indonesia menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945.

Perlu diketahui mengenai perihal eksekusi hukuman mati.

1. Pemberitahuan Tiga (3) Hari Sebelum Eksekusi

Sebelum dilaksanakannya eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana, maka, terpidana wajib mengetahui mengenai rencana pelaksanaan tersebut. Terpidana harus diberitahu tiga (3) hari sebelum hari H eksekusi. diatur dalam “Pasal 6 ayat (1) UU No.2/PNPS/1964”.

Berbunyi“Tiga kali dua puluh empat jam sebelum pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.”

2. Jika Terpidana Banyak

Eksekusi mati terhadap terpidana mati yang lebih dari satu dalam satu putusan harus dilaksanakan secara serempak. diatur dalam “UU No.2/PNPS/1964”.

Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Pidana mati yang dijatuhkan atas diri beberapa orang di dalam satu putusan dilaksanakan serempak pada wkatu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.”

3. Jika Terpidana Adalah Wanita Hamil

Terpidana yang akan dieksekusi mati adalah perempuan. namun bagaimana bila salah seorang di antara terpidana perempuan dalam keadaan hamil? Bila ada perempuan hamil akan dieksekusi mati maka, dia baru bisa dieksekusi 40 hari setelah anaknya dilahirkan. diatur dalam “Pasal 7 UU No.2/PNPS/1964”.

4. Eksekutor Penembak

Eksekutor hukuman mati, di dalam Hukum positif Indonesia menegaskan bahwa hukuman mati dilakukan oleh pasukan penembak. Yaitu, kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukuman kepada terpidana mati membentuk sebuah regu penembak.

Regu penembak tersebut terdiri atas seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, dan dipimpin oleh seorang Perwira. Regu penembak ini berada di bawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ekseksusi sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

5. Permintaan Terakhir

Setiap terpidana mati diberikan haknya yaitu untuk mengemukakan sesuatu (permintaan terakhir) kepada jaksa agung atau jaksa sebagaimana diatur dalam “Pasal 6 ayat (2) UU No.2/PNPS/1964”. Permintaan itu diterima oleh Jaksa Agung/jaksa.

6. Yang diperbolehkan Menyaksikan

Dalam eksekusi, selain Regu Penembak, yang diperbolehkan hadir dalam ekseksusi hukuman mati berdasar “Pasal 8 UU 2/PNPS/1964” adalah pembela terpidana. Atas permintaan pembela atau atas permintaan terpidana, pembela dapat hadir dalam pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan kepada kliennya.

Selain itu, terpidana juga dapat meminta untuk didampingi oleh rohaniawan.

7. Lokasi Eksekusi

Undang-undang tidak mengatur secara khusus di mana lokasi harus dilaksanakannya eksekusi hukuman mati. UU No.2/PNPS/1964 hanya menyebutkan jika tidak ditentukan lain oleh Menteri, maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.

Bila dilihat dalam ketentuan yang menyebutkan lokasi eksekusi hukuman mati tidak dilaksanakan di muka umum, maka dapat ditafsirkan bahwa lokasi tersebut dirahasiakan agar jauh dari jangkauan orang-orang yang tidak termasuk dalam daftar yang boleh hadir dalam eksekusi

Biasanya untuk menentukan lokasi eksekusi, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Perkapolri 12/2010, regu penembak akan melakukan survey terlebih dahulu bersama dengan instansi terkait. Regu yang melakukan survey juga akan memberikan rekomendasi beberapa alternatif lokasi dengan memperhatikan faktor kemanan lingkungan di sekitarnya.

8. Jika Tidak Mati Sekali Tembak

Terpidana mati akan ditembak di lokasi dimana dirinya telah ditentukan akan dieksekusi. Regu penembak dengan jarak antara lima hingga sepuluh meter akan membidik pada jantung terpidana.

Apabila setelah penembakan tersebut pidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dirinya masih hidup, Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya tepat di atas telinganya.

9. Jika Terpidana Miliki Ilmu Kebal

Pada dasarnya terhadap terpidana yang memiliki ilmu kebal sama saja dengan terpidana lainnya yang tidak mati dalam sekali tembak.

Melihat pada frasa yang mengatur tata pelaksanaan hukuman mati, eksekusi “ditembak sampai mati” maka dapat kita simpulkan bahwa dalam pelaksanaan pidana mati, pemidanaan akan dilakukan sampai terpidana dalam kondisi mati.

Pasal 15 ayat (25) dan ayat (26) Perkapolri 12/2010 mengatur penembakan pengakhir dapat diulangi sampai dokter menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

10. Penguburan

Setelah dilakukan eksekusi, pelaksanaan penguburan terpidana mati diserahkan kepada keluarga, kerabat atau sahabat terpidana. Jika tidak ada kemungkinanya pelaksanaan penguburan oleh keluarga, kerabat, atau sahabat, maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan cara yang diatur dalam kepercayaan yang dianut oleh terpidana.